-->
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

8 Tata Cara Ibadah Bagi Umat Muslim Saat Suasana Bencana

Bencana adalah sebuah peristiwa yang menimbulkan kerugian pada kehidupan manusia, baik itu nyawa atupun harta benda. Baik itu Gempa Bumi, Tsunami, atau Tanah Longsor, banjir yang tidak menimbulkan korban atau kerugian, akan dianggap sebagai gejala alam biasa, bukan bencana. Peristiwa alam tersebut baru dikatakan bencana apabila mengakibatkan kerugian dan korban.

Dalam Perspektif Keagamaan, Bencana sesungguhnya tidak terlepas dari tiga konsep penting, yaitu qodlo’tawakkal, dan qodar (takdir). Sebagai Seorang Muslim tentunya Allah SWT mewajibkan kita untuk taat dalam menjalankan ibadah dalam kondisi apapun termasuk dalam kondisi bencana, terutama ibadah wajib. Oleh karena itu kita harus mengetahui Tata Cara Ibadah umat muslim Saat Suasa Bencana.

8 Tata Cara Ibadah Umat Muslim Saat Suasa Bencana

Berikut ini 8 Tata Cara Ibadah Umat Muslim Saat Suasa Bencana  :

1. Cara Bersuci dalam Situasi Darurat: Tayamum

 Pada saat bencana, masyarakat seringkali berhadapan dengan situasi sulit mendapatkan air, krisis air bersih atau jatuh sakit yang menyebabkan mereka tidak bisa menggunakan air. Pada situasi situasi seperti itu sebagian masyarakat cenderung memilih untuk meninggalkan salat. hal tersebut terjadi karena minimnya pengetahuan yang mereka miliki mengenai fiqih. Padahal dalam Islam sesungguhnya ada larangan yang sangat keras bagi perbuatan meninggalkan salat.

Dalam kondisi di mana tidak memungkinkan untuk berwudhu dan mandi besar karena berbagai alasan, Allah SWT Sesungguhnya telah menentukan tayamum sebagai penggantinya. tayamum dilakukan untuk bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar. Perintah untuk tayamum didasarkan pada firman Allah,

وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا [٤:٤٣]

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa(4): 43)

Kemudian firman-Nya yang lain,

وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [٥:٦]

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Ma’idah(5) : 6)

Adapun cara tayamum yang diajarkan Rasulullah SAW kepada sahabat adalah sebagai berikut :

  1. Menepukkan kedua telapak tangan ke tempat debu suci atau bagian permukaan dari sesuatu yang dianggap bersih.
  2. Menghembus atau meniup kedua telapak tangan itu.
  3. Mengusapkannya ke muka.
  4. Mengusapkannya pada kedua tangan sampai pergelangan tangan.

Cara ini berdasarkan hadits,

عَنْ عَمَّارٍ قَالَ أَجَنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ فَتَمَعَكْتُ فِى الصَّعِيْدِ وَ صَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَ كَفَّيْهِ (متّفق عليه)

Dari ‘Ammar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku pernah dalam keadaan junub dan tidak mendapat air, lalu aku berguling-guling dalam debu dan salat. Maka aku sebutkan yang demikian itu kepada Rasulullah SAW. Beliau berkata: 'Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini’. Lalu beliau meletakkan kedua tangannya di tanah dan meniupnya, kemudian mengusap muka dan tangannya sampai pergelangan tangannya dengan kedua telapak tangannya itu.(Hadis Muttafaq ‘Alaih)

2. Salat dengan Pakaian yang Terkena Najis atau Kotor

Dalam Al-Qur’an umat Islam diperintahkan agar setiap kali hendak melaksanakan salat terlebih dahulu menggunakan pakaian yang bersih dan indah. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf (7) : 31

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ [٧:٣١]

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. QS. Al-A’raf (7) : 31

Dalam hadis Nabi SAW kemudian dijelaskan pula bahwa pakaian yang najis tidak sah dipakai salat. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ (رواه مسلم)

Tidak diterima salat yang dilakukan tanpa bersuci dan sedekah dari hasil korupsi.(HR. Muslim)

Beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai najis dalam fiqih adalah :

  1. Kotoran dan muntah manusia
  2. Air madzi dan wadi
  3. Kotoran hewan, khususnya yang haram untuk dimakan
  4. Bangkai hewan
  5. Anjing dan babi

Jika pakaian seseorang terkena salah satu dari yang disebutkan di atas, maka pakaiannya tidak sah digunakan untuk salat. Iya harus meninggalkannya dan menggantinya dengan yang lain. Namun dalam kondisi terjadi bencana, dimana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian yang bersih, hal tersebut dapat dimaklumi dan salat seseorang menjadi sah. kewajiban salat tetap harus ditunaikan sekalipun salah satu syarat sahnya tidak terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat yang menyebabkan terjadinya pengecualian. Dalam fikih terdapat sebuah kaidah,

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang.

3. Melaksanakan Salat dengan Aurat Tidak Tertutup Sempurna

Sering ditemukan pula dalam situasi bencana masyarakat yang lebih memilih untuk meninggalkan salat karena beralasan kondisi auratnya yang tidak tertutup sempurna. Padahal terkadang situasi seperti itu bisa berlangsung beberapa hari, sehingga menyebabkan salat ditinggalkan berulang-ulang.

Dalam kacamata fiqih, kondisi bencana juga sebenarnya dapat digolongkan ke dalam situasi darurat yang disebutkan dalam kaidah di atas (point 2). Dengan demikian, hukum salat tetap wajib dilaksanakan walaupun aurat tidak bisa tertutup secara sempurna. dalam hal ini Allah SWT berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu(QS. At-Tagabun(64) : 16)

Dalam hadisnya Rasulullah SAW juga bersabda,

فَإِذَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ وَإِذَا أَمَرَتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (متّفق عليه)

Jika aku melarang kalian dari satu perbuatan, maka jauhilah sejauh-jauhnya. Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perbuatan maka lakukanlah sebisa kalian. (Hadis Muttafaq ’Alaih)

Kaedah fiqih yang terkait dengan permasalahan ini adalah,

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Kesulitan membawa kemudahan

Maksud kaedah di atas adalah hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan dilaksanakan atau yang berada di luar kapasitas manusia untuk mengamalkannya, maka diberi keringanan oleh Syariah untuk dijalankan sesuai kemampuannya.

4. Salat Pada Saat Situasi Evakuasi

Orang yang berada dalam situasi evakuasi mereka tidak sempat salat, maka kewajiban salat tidak gugur bagi mereka. Karena salat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali karena alasan: hilang akal sehat (menjadi gila), haid atau nifas bagi perempuan.

Dalam kondisi salat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena emergency, maka salat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya). Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk mengqadha salat, terutama bagi mereka yang sengaja meninggalkan salat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tidak melaksanakan salat pada waktunya karena ada halangan syar'i seperti tertidur atau karena lupa maka yang bersangkutan melakukan salat ketika ia terbangun atau ketika ingat, sebagaimana dinyatakan oleh hadis,

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ قَالَ ذَكَرُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِيْ النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ فِيْ الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا (رواه الترمذي)

Dari Abu Qatadah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: para sahabat memberitahu kepada Nabi saw tentang mereka ketiduran sehingga lupa salat (pada waktunya), maka Nabi saw bersabda: Tidak ada kelalaian  karena ketiduran. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan jaga. Maka apabila seseorang kamu lupa atau ketiduran sehingga luput salatnya, maka kerjakanlah salat itu apabila telah ingat.(HR at-Tirmidzi)

Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang ketiduran dan lupa. Ilatnya adalah sama-sama meninggalkan salat secara tidak sengaja.

5. Batasan Waktu Jamak pada Saat Bencana

Dalam hadis nabi disebutkan bahwa bagi yang dalam kondisi Safar (perjalanan), batasan waktu jamak dan qasar baginya adalah 19 hari.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا (رواه البخارى)

Dari Ibnu Abbas R.a (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Saw tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu shalat qashar. Maka kami apabila kepergian selama sembilan belas hari selalu mengqasar salat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya. (HR Al- Bukhari)

Sedangkan bagi yang berada dalam kondisi bencana, tidak ada batasan pasti kapan paling lama jamak dilakukan. Batasan sebenarnya adalah hilangnya kesukaran ( masyaqqah) dan kesempitan ( haraj) itu sendiri. Jadi, jika situasi yang menyulitkan untuk salat tanpa jamak berlangsung lama, maka selama waktu tersebutlah jamak dapat dilakukan. Dalilnya adalah,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَ العَصْرَ جَمِيْعًا بِالْمَدِيْنَةِ فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ أَبُوْ الزُّبَيْرِ فَسَأَلَتُ سَعِيْدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِيْ فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ (رواه مسلم)

Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. Salat  zuhur dan asar di Madinah secara jamak,  bukan karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Abu Zubair berkata: saya bertanya kepada Sa’id: Mengapa beliau berbuat demikian? Lalu Ia menjawab: saya bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Ibnu Abbas berkata: Beliau (Rasulullah) menghendaki agar tidak menyulitkan seorang pun dari umatnya. (HR.Muslim)

6. Tidak Memaksakan Diri Puasa Pada Saat Pengungsian

Bagi orang yang sakit dan sedang melakukan Safar, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa dan mengqadhanya di hari yang lain. Demikian pula hukum tersebut berlaku bagi orang yang sedang berada dalam kondisi bencana, baik relawan ataupun korban. hal tersebut disebabkan karena mereka menjumpai kesulitan dan kesukaran untuk tetap melakukan kewajiban puasa sebagaimana mestinya. Bahkan bisa jadi kesulitan untuk berpuasa yang dihadapi pada saat bencana lebih berlipat dibandingkan bagi orang yang sekedar sakit atau bepergian. Oleh karena itu, adalah suatu tindakan yang kurang tepat jika tetap berpuasa padahal tidak mampu dan berada dalam situasi sulit, seperti kondisi ketiadaan logistik. Allah SWT berfirman, 


....وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ....

...Allah tidak menciptakan kesulitan dalam beragama bagi kamu sekalian... [QS. Al-Hajj (22):78].

7.  Memperlakukan Jenazah Korban Bencana

Pada dasarnya muslim manapun yang meninggal harus dimandikan, dikafani dan disalatkan. Namun demikian, dalam kondisi bencana yang menelan korban dalam jumlah masif sehingga menyulitkan untuk diperlakukan sesuai dengan hukum asal, maka jenazah tersebut boleh untuk tidak dimandikan dan dikafani. Namun jenazahnya tetap wajib untuk disalatkan. Jenazah cukup dibungkus dengan pakaian yang ada maupun kain yang  ditemukan seadanya.

Terkait dengan penguburan, hal tersebut bisa dilakukan secara massal dan tidak perlu dipisahkan antara pria dan wanita. Dalilnya adalah,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebankan kepada seseorang (kewajiban) kecuali sesuai dengan kemampuannya. [QS al-baqarah (2):286].

8. Dana Zakat Untuk Korban Bencana

Allah SWT telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [٩:٦٠]

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.  [QS. At-Taubah (9):60]

Ayat di atas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikan sebagai golongan fakir dan miskin, dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.

Dari keterangan di atas, kiranya sudah dapat dipahami bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang ( gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama.


Munawir ID
Munawir ID A Father | Who dedicated his life to his Religion, family and Nation.


close