Beberapa Syubhat Yang Wajib Diwaspadai Dalam Bertawassul
SYUBHAT PERTAMA :
Para penyembah hawa
nafsu mengatakan “Kita boleh bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam pada waktu hidupnya dan setelah wafatnya. Berdasarkan hadits :
أَنَا فِي قَبْرِي حَيٌّ طَرِىٌّ مَنْ سَلَّمَ عَلَيَّ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ
“Aku dalam kuburku
hidup senang, siapa yang menyalamiku maka aku akan membalas salamnya.”
TANGGAPAN :
Inilah salah satu
yang dijadikan alasan oleh penyembah kubur dengan berdalilkan keterangan di
atas. Para penyembah kubur dewasa ini sering sekali mendatangi kuburan Nabi
bahkan kuburan orang-orang shaleh dengan memakai syubhat (kerancuan) di atas.
Mereka berkeyakinan bahwa Nabi hidup di dalam kuburnya seperti hidupnya sebelum
wafatnya. Keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang bathil dalam pandangan
Aqidah, ditunjau dari beberapa aspek :
A. Aspek Hadits
Ringkasnya bahwa
hadits dengan teks di atas (لا أصل له) tidak ada asalnya. Karena lafazh طَرِىٌّ (senang) tidak ada sedikitpun
dalam kitab-kitab hadits ini secara mutlak.
B. Aspek Fiqih
Mereka sepakat bahwa
kehidupan Nabi setelah wafatnya adalah tidak sama denagn kehidupan sebelum
wafat. Sebab kehidupan alam barzakh itu ghaib diantara keghaiban yang lain.
Tidak ada yang mengetahui selain Allah. Akan tetapi yang pasti dan semua tahu
bahwa kehidupan di sana tidak sama dengan kehidupan dunia. Dan tidak tunduk
dengan aturan dimensi dunia. Manusia di dunia makan, minum, bernafas, menikah,
bergerak, buang air, sakit dan berbicara. Dan tidak ada yang mampu menetapkan
bahwa manusia setelah mati bahkan para Nabi sekalipun atau Nabi Muhammad
mengalami hal semacam ini setelah wafat mereka.
SYUBHAT KEDUA :
Para penyembah hawa
nafsu mengatakan “Kita boleh bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam pada waktu hidupnya dan setelah wafatnya. Berdasarkan hadits:
Ada seorang yang
mempunyai urusan dengan Utsman bin Affan. Akan tetapi Utsman tidak menoleh
ataupun melihatnya tidak menghiraukannya. Kemudian dia bertemu dengan Utsman
bin Hanif dan mengeluhkan masalahnya.
Utsman lalu berkata,
“Pergilah ke tempat wudhu, kemudian berwudhulah setelah itu pergilah ke masjid
dan laksanakanlah shalat dua rakaat. Setelah itu berdoalah,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ عَزَّ وَجَلَّ فَيُقْضِى لِيْ حَاجَتِيْ
“Yaa Allah, aku
meminta dan menghadap kepada-Mu dengan nabi kami Muhammad yang penyayang. Yaa
Muhammad aku menghadap denganmu kepada Rabbku maka penuhilah urusanku ini,’ dan
sebutkan urusannmu.”
Kemudian orang
tersebut melakukan apa yang dikatakan Utsman. Kemudian mendatangi Utsman bin
Affan, seteah sampai di depan pintu maka penjaga mengajaknya masuk. Maka dia
duduk bersama Utsman bin Affan di sofa seraya bertanya, “Ada perlu apa lagi?” Kemudian
dia menyebutkan urusannya. Dan Utsman memenuhinya. Dia berkata, “Engkau tidak
menyebutkan urusanmu hingga hari ini?” dia menjawab, “Bukankah engkau tidak
mempunyai urusan sehingga mendatangkan kami.” Setelah itu dia keluar dan
bertemu dengan Utsman bin Hanif dan berkata, “Semoga Allah mengajarkanmu dengan
kebaikan, selamanya dia tidak akan melihat aku dan mengacuhkan aku sampai
engkau berbicara padanya perihalku.” Maka Utsman berkata, “Demi Allah, aku
tidak mengatakan apa-apa tentangmu. Akan tetapi aku melihat seorang buta datang
mengeluh padanya agar mengembalikan pengelihatannya. Maka Rasulullah berkata,
‘Sabarlah!’ dia berkata, ‘Wahai Rasulullah aku tidak punya penuntun, dan itu
sangan menyusahkan aku.’ Kemudian Nabi berkata, ‘Jika seperti itu maka pergilah
ke tempat wudhu, kemudian berwudhulah, setelah itu pergilah ke masjid dan
laksanakan shalat dua rakaat dan berdoalah dengan doa ini. Maka demi Allah
tidak lama kemudian setelah pembicaraan itu, aku bertemu dengan laki-laki itu
seakan-akan sebelumnya tidak pernah mengalami kebutaan.”
TANGGAPAN:
1. Hadits diatas
dikeluarkan oleh Thabrani dari jalan Abdullah bin Wahb, dari Syubaib bin Saad
al-Makki, dari Ruh bin Qasim, dari Abu Jakfar al-Khathami al-Madani, dari Abu
Umamah bin Sahal bin Hanief, dari pamannya Utsman bin Hanif (dalam kitabnya
al-Mu’jam ash-Shaghir hal. 103-104 dan Mu’jam al-Kabir II/3:1-2).
2. Para ulama hadits
menilai hadits di atas tidak layak dipergunakan sebagai dalil karena tidak
memenuhi syarat sanadnya.
3. Thabrani sendiri
yang mengeluarkan hadits di atas mengingkari keshahihan hadits tersebut kalau
melewati Syubaib bin Said (salah satu rawi) karena Syubaib bin Said ini
dipermasalahkan meskipun dikuatkan dengan riwayat yang lain yaitu Ismail dan
Ahmad namun Ismail adalah majhul (tidak dikenal) dan saudaranya yakni Ahmad,
dia jujur tetapi lemah hafalannya maka Imam adz-Dzahabi menganggapnya gharib
(asing) dan begitu juga Ibnu Madini menganggap dia sering khilaf maka
kesimpulannya hadits di atas ditolak demikian perkataan Syaikh Nashiruddin
al-Albani.
4. Kisah orang buta
dari hadits di atas dha’if, aneh, dan ganjil karena tiga sebab, yaitu:
a. Kelemahan hafalan yang
menyendiri dalam riwayat di atas.
b. Perbedaan di dalamnya.
c. Pertentangannya dengan
orang-orang yang tsiqah yang tidak disebutkan dalam hadits ini.
Salah satu dari tiga
hal ini saja sudah cukup untuk menyangkal kisah orang buta di atas maka
bagaimana jika ketiga-tiganya terdapat dalam kisah tersebut???
KESIMPULAN: Setelah
menimbang kedudukan hadits tersebut maka tertolak untuk diamalkan. Jadi tidak
ada hadits yang shahih bertawassul kepada dzat Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam tetapi hanya boleh bertawassul melalui doa Nabi Muhammad dan doa orang
shaleh.
SYUBHAT KETIGA :
Para penyembah hawa
nafsu mengatakan “Kita boleh bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam pada waktu hidupnya dan setelah wafatnya. Berdasarkan hadits:
تَوَسَّلُوْا بِجَاهِيَ فَإِنَّ جَاهِيَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْم
Bertawassullah
dengan diriku karena diriku di sisi Allah adalah besar.
Sebagian mereka
meriwayatkan dengan redaksi:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِجَاهِيَ فَإِنَّ جَاهِيَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْم
Jika kalian minta
kepada Allah maka mintalah dengan diriku karena diriku di sisi Allah adalah
besar.
TANGGAPAN:
1. Hadits di atas adalah bathil yang tidak ada
asal usulnya dalam kitab-kitab hadits sebagimana disinyalir oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. (al-Qaidah al-Jalilah hal. 132)
2. Walaupun Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam lebih besar dari diri semua para Nabi dan
Rasul akan tetapi diri makhluk di sisi Pencipta tidaklah sama dengan diri
makhluk di sisi makhluk. (al-Qaidah al-Jalilah hal. 150)
3. Makhluk sebesar
apapun dan seshaleh apapun tidak akan memberikan syafaat (pertolongan) tanpa
seizin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ (23)
Dan Tiadalah berguna
syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh
syafa'at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka,
mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" mereka
menjawab: (perkataan) yang benar", dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha
Besar. (QS. Saba[34]: 23)
4. Meskipun
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki kedudukan yang sangat agung dan
sangat dimuliakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan tetapi tidak boleh kita
melakukan rukuk dan sujud kepada beliau sebagaimana sebagian manusia melakukan
rukuk dengan membungkuk bahkan sujud kepada sebagian manusia lainnya yang
mereka hormati dan agungkan dalam syariat Islam sangat ditentang perbuatan
tersebut meskipun kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam baik di masa hidup
lebih-lebih setelah beliau wafat
5. Maka dengan
demikian kemuliaan Nabi di sisi Allah tidak diragukan sedikitpun akan tetapi
tidak boleh otomatis kita bertawassul akan keagungan dan kebesaran beliau
setelah beliau wafat.
SYUBHAT KEEMPAT:
Para penyembah hawa
nafsu mengatakan “Kita boleh bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam pada waktu hidupnya dan setelah wafatnya. Berdasarkan hadits :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَرْفُوْعًا: لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ: يَا آدَمَ وَ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَ نَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تَضُفَّ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ فَقَالَ: غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْ لَا مُحَمَّدُ مَا خَلَقْتُكَ
Dari Umar bin
Khaththab –secara marfu’-: “Tatkala Adam mengakui dosa-dosanya maka dia
berkata, ‘Yaa Allah aku minta dengan hak Muhammad jika Engkau tidak
mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Hai Adam, bagaiman engkau bisa mengetahui
Muhammad yang belum Aku ciptakan?’ Adam berkata, ‘Yaa Rabbi mengapa Engkau
ciptakan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan roh kepadaku kemudian aku
angkat kepalaku dan aku melihat di tiang Arsy tertulis: ‘Laa Ilaha illallah
Muhammad Rasulullah’, maka aku mengetahui tidaklah Engkau sandingkan nama
seseorang dengan nama-Mu selain yang kepada makhluk yang Engkau cintai.’ Maka
Allah berfirman, ‘Aku ampuni dosamu, seandainya bukan karena Muhammad maka
tidaklah Aku ciptakan dirimu.’” (HR. Al-Hakim)
TANGGAPAN:
1. Hadits di atas
dikeluarkan oleh al-Hakim (al-Mustadrak,
II: 615) dengan jalan Abdul Harits, Abdullah bin Muslim al-Fihri dari Ismail
bin Maslamah, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari Ayahnya, dari kakeknya
dari Umar.
2. Komentar ulama
tentang hadits di atas
a. Adz-Dzahabi berkata hadit ini
palsu karena Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebagai seorang perawi dari hadits di
atas majhul (tidak dikenal).
b. Bukhari dan Muslim tidak
berhujjah (berdalil) dengan Abdurrahman bin Zaid.
c. Al-Hakim sendiri yang
mengeluarkan hadits di atas sangat kontradiktif pada kitab yang sama yakni
Al-Mustadrak III: 332 dengan tidak menshahihkannya dan di Mustadraknya yang
kedua beliau menshahihkannya.
d. Ibnu Hajar (al-Lisaan III: 360)
mengatakan bahwa hadits ini bathil.
e. Ibnu Hibban mengatakan pada
hadits di atas terdapat rawi (Abdullah bin Muslim) dan dia suka memalsukan
hadits, tidak halal kitab haditsnya.
f. Ath-Thabrani (al-Mu’jam
ash-Shaghir Hal. 207) mengatakan sanadnya gelap (tidak jelas).
g. Al-Baihaqi mengatakan
Abdurraman bin Zaid dituduh memalsukan hadits.
h. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan
hadits di atas bathil.
i. Ibnu Abdul Hadi mengatakan
hadits di atas bathil.
j. Syaikh al-Albani mengatakan
bahwa hadit ini bathil bahkan mukharijnya sendiri yankni al-Hakim menggolongkan
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah Dha’if lalu bagaimana beliau bisa
menshahihkan hadit tersebut???
3. Setelah
mengetahui kedudukan hadits di atas adalah bathil maka tentunya dari sudut
pandang syariat tidak ada apa-apanya hadits tersebut (tidak boleh berhujjah
dengannya).
4. Keterangan di
atas tidak boleh lagi disebut hadits adalah berita Israiliyah yang menyebar di
kaum muslimin dari kitab-kitab yang tidak dapat dipercaya.
SYUBHAT KELIMA :
Para penyembah hawa
nafsu mengatakan “Nabi Adam saja bertawassul kepada Nabi Muhammad, berarti
betawassul dengan dzatnya bukan dengan doanya. Berdasarkan hadits:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَرْفُوْعًا: لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَ الْخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِيْ فَقَالَ: يَا آدَمَ وَ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَ نَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمَ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تَضُفَّ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ فَقَالَ: غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْ لَا مُحَمَّدُ مَا خَلَقْتُكَ
Dari Umar bin
Khaththab –secara marfu’-: “Tatkala Adam mengakui dosa-dosanya maka dia
berkata, ‘Yaa Allah aku minta dengan hak Muhammad jika Engkau tidak
mengampuniku.’ Maka Allah berfirman, ‘Hai Adam, bagaiman engkau bisa mengetahui
Muhammad yang belum Aku ciptakan?’ Adam berkata, ‘Yaa Rabbi mengapa Engkau
ciptakan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan roh kepadaku kemudian aku
angkat kepalaku dan aku melihat di tiang Arsy tertulis: ‘Laa Ilaha illallah
Muhammad Rasulullah’, maka aku mengetahui tidaklah Engkau sandingkan nama
seseorang dengan nama-Mu selain yang kepada makhluk yang Engkau cintai.’ Maka
Allah berfirman, ‘Aku ampuni dosamu, seandainya bukan karena Muhammad maka
tidaklah Aku ciptakan dirimu.’” (HR. Al-Hakim)
TANGGAPAN :
1. Hadits ini
bertentangan al-Qur’an, inilah yang menguatkan para ulama yang mengatakan akan
kepalsuan dan kebathilan hadits ini karena bertentangan dengan al-Qur’an dalam
dua faktor:
a. Hadits ini berisi
bahwa ampunan Allah kepada Adam karena sebab tawassulnya dengan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam sedangkan firman Allah menjelaskan tidak seperti
itu sebagaimana firman-NYa:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37)
Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Baqarah[2]: 37)
Jadi berdasarkan
ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menerima taubat Nabi Adam tidak ada sama sekali riwayat yang shahih bahwa
beliau bertawassul dengan kebesara Nabi Muhammad.
b. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala juga berfirman dalam al-Qur’an yang mempertegas bahwa beliau
mengampuni Nabi Adam alaihis salam karena atas doanya Nabi Adam langsung
kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (23)
Keduanya berkata:
"Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami
Termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf[7]: 23)
Maka dengan ayat ini
semakin jelaslah riwayat yang menjelaskan Nabi Adam bertawassul kepada Nabi
Muhammad adalah kebathilan yang bertentangan denganal-Qur’an sendiri yang tidak
diragukan lagi keshahihannya.
2. Maka bagi orang
yang memiliki ilmu kaidah-kaidah berdalil tentu tidak mungkin mau menggunakan
hadits yang remang-remang, tidak jelas apalgi dihukumi palsu lalu mau
meninggalkan al-Qur’an.